Mahar Pernikahan: Hak Istri dan Ketentuannya dalam Islam Wajib Tahu!

Mahar Pernikahan: Hak Istri dan Ketentuannya dalam Islam Wajib Tahu!

8 Oktober 2025
Altair

Ketentuan mahar dalam Islam merupakan aspek fundamental dalam pernikahan yang memiliki kedudukan penting, khususnya bagi kaum wanita yang berhak menerimanya. Meskipun tidak termasuk rukun sahnya pernikahan, mahar atau mas kawin adalah hak mutlak seorang istri yang wajib dipenuhi oleh suami.

Dalam kajiannya, Ustaz Muhammad Saiyid Mahadhir menjelaskan bahwa mahar memang hukumnya wajib. Namun, penyebutannya saat akad nikah tidaklah bersifat wajib. Hal ini merujuk pada firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 236, yang menyatakan “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.” Ayat ini mengindikasikan bahwa jika perceraian terjadi sebelum hubungan intim dan penentuan mahar, suami tidak wajib membayar mahar, namun dianjurkan memberikan mut’ah (bekal perpisahan).

Para ulama sepakat bahwa mahar tidak termasuk rukun pernikahan. Menurut Mazhab Syafi’i, penyebutan mahar saat akad bersifat sunnah, artinya pernikahan tetap sah meskipun mahar tidak disebutkan secara rinci ketika ijab kabul. Dalil yang menguatkan kewajiban mahar dalam pernikahan adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 4 yang berbunyi, “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” Ayat ini menegaskan bahwa mahar adalah pemberian yang wajib dari suami kepada istri sebagai bentuk penghormatan dan pemenuhan hak.

Pemberian mahar ini merupakan simbol kasih sayang dan pengikat janji suci untuk membangun rumah tangga. Jika istri dengan tulus dan ikhlas merelakan sebagian atau seluruh maharnya untuk dimanfaatkan suami, hal tersebut diperbolehkan. Menurut Mazhab Syafi’i, mahar menjadi wajib karena tiga sebab: pertama, diwajibkan oleh hakim; kedua, diwajibkan oleh suami sendiri; dan ketiga, dengan terjadinya jimak (persetubuhan) setelah pernikahan.

Hak Istri: Kewajiban Mahar dalam Pernikahan

Mahar memiliki makna mendalam sebagai tanda keseriusan dan komitmen seorang pria dalam mempersunting wanita. Pemberian mahar menunjukkan penghargaan terhadap calon istri dan kesiapan untuk bertanggung jawab. Meskipun tidak selalu berupa materi yang besar, esensi mahar adalah pemberian yang memiliki nilai, baik secara materi maupun spiritual.

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Carilah sesuatu (mahar) cincin sekalipun terbuat dari besi. Jika tidak mendapati, mahar berupa surat-surat Al-Qur’an yang engkau hafal.” (HR. Al-Bukhari 1587). Hadis ini mengajarkan bahwa mahar tidak harus selalu berupa harta benda yang mahal. Hal yang terpenting adalah adanya pemberian yang tulus sebagai simbol ikatan pernikahan.

Para ulama mengklasifikasikan mahar menjadi tiga bentuk utama, yaitu:

1. Mahar Berupa Tsaman (Uang)

Uang merupakan bentuk mahar yang paling umum dan disepakati oleh para ulama. Uang sebagai tsaman adalah alat tukar yang memiliki nilai jual dan dapat digunakan untuk membeli berbagai kebutuhan. Dalam sejarah Islam, mahar para istri Nabi Muhammad SAW tercatat senilai 500 Dirham, yang merupakan mata uang perak yang lazim digunakan pada masa itu. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian dalam bentuk uang adalah sah dan dianjurkan.

2. Mahar Berupa Mutsamman (Benda/Barang)

Mahar juga dapat berbentuk benda atau barang yang memiliki nilai jual, seperti perhiasan, kendaraan, atau properti. Sahabat Nabi banyak yang memberikan mahar dalam bentuk barang. Contohnya, Abdurrahman bin Auf pernah menikahi wanita dengan mahar berupa emas seberat biji kurma. Mahar benda harus memenuhi syarat: memiliki nilai (mutamawwil), suci (thohir), bermanfaat (muntafi’ bihi), dapat diserahkan (maqdur), dan diketahui kadarnya (ma’lum).

3. Mahar Berupa Jasa (Ujroh)

Bentuk mahar yang ketiga adalah ujroh atau upah atas suatu jasa pekerjaan. Kisah Nabi Musa AS yang menikahi putri Nabi Syuaib AS dengan mahar berupa jasa bekerja selama delapan tahun menjadi contohnya. Mahar dalam bentuk jasa ini meskipun tidak berbentuk materi secara langsung, tetap memiliki nilai dan merupakan bentuk pemenuhan kewajiban suami. Contoh lain yang disebutkan adalah keislaman Ummu Sulaim sebagai mahar, atau bacaan Al-Qur’an yang dihafal sebagai mahar dalam beberapa riwayat.

Bagikan Artikel

Artikel Terkait