6 Istilah Mahar dalam Al-Qur’an: Makna dan Keagungannya

6 Istilah Mahar dalam Al-Qur’an: Makna dan Keagungannya

8 Oktober 2025
Altair

Dalam ajaran Islam, konsep pemberian dari calon suami kepada calon istri saat pernikahan memiliki makna yang dalam dan beragam. Al-Qur’an sendiri tidak secara eksplisit menggunakan kata “mahar” untuk menyebut pemberian ini. Sebaliknya, Al-Qur’an memperkaya khazanah pemahaman kita dengan menggunakan berbagai istilah untuk menggambarkan aspek dan esensi dari pemberian tersebut. Ustadzah Maharati Marfuah Lc, dari Rumah Fiqih Indonesia, menjelaskan bahwa terdapat enam kosakata berbeda dalam Al-Qur’an yang merujuk pada pemberian yang berkaitan dengan akad nikah, masing-masing membawa nuansa makna tersendiri. Pemahaman akan keragaman istilah ini penting untuk menangkap kedalaman ajaran Islam mengenai hak dan kewajiban dalam pernikahan, serta merevisi pandangan yang mungkin bersifat materialistik semata. Pemberian ini bukan sekadar transaksi, melainkan simbol dari komitmen, ketulusan, dan penghormatan dalam sebuah ikatan suci.

Keenam istilah tersebut, sebagaimana dipaparkan, antara lain ‘shadaq’, ‘nihlah’, ‘ujur’, ‘tawl’, ‘faridhah’, dan ‘qinthar’. Masing-masing kata ini memberikan perspektif unik tentang makna pemberian tersebut, mulai dari bukti ketulusan hati hingga bentuk kewajiban yang harus dipenuhi. Pemahaman mendalam terhadap setiap istilah dapat memperkaya pemahaman kita tentang ajaran Islam mengenai pernikahan dan peran perempuan di dalamnya. Ini juga menunjukkan bagaimana Al-Qur’an secara cermat membahasakan konsep-konsep penting dengan presisi yang luar biasa, menghindari kesalahpahaman dan meluruskan pandangan yang mungkin keliru dari tradisi pra-Islam.

Shadaq: Bukti Kejujuran dan Ketulusan Cinta

Istilah yang paling sering ditemui dan dianggap populer dalam Al-Qur’an untuk menyebut maskawin adalah “shadaq” atau “shaduqat” (bentuk jamaknya). Ayat yang sering dijadikan rujukan adalah Surah An-Nisa ayat 4: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” Kata “shadaq” memiliki akar kata yang sama dengan “shidq” (kebenaran, ketulusan, kejujuran) dan “shadaqah” (derma, pemberian). Hal ini menyiratkan bahwa maskawin yang diberikan bukanlah sekadar formalitas, melainkan representasi konkret dari kejujuran, kesucian, dan ketulusan cinta calon suami kepada calon istrinya. Al-Qur’an secara tegas mengaitkan “shaduqat” langsung dengan “al-nisa'” (istri) sebagai penerima utama, bukan kepada wali atau pihak lain. Ini menunjukkan bahwa maskawin memiliki makna agung dan universal, sekaligus merupakan koreksi terhadap praktik jahiliah Arab yang cenderung memandang perempuan secara materialistik dan semena-mena dalam rumah tangga. Pemberian “shadaq” ini menegaskan hak perempuan atas maskawin dan menempatkannya pada posisi yang terhormat dalam ikatan pernikahan.

Nihlah: Anugerah Bernilai Spiritual dan Material

Selain “shadaq”, Al-Qur’an juga menggunakan istilah “nihlah” untuk makna maskawin. Dalam Surah An-Nisa ayat 4 yang sama, kata “nihlah” disebutkan bersamaan dengan “shadaq”, memberikan penekanan pada sifat pemberian itu. “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” Para ahli tafsir memiliki perbedaan pandangan mengenai siapa yang menjadi subjek perintah dalam ayat ini: apakah kepada wali wanita atau kepada suami. Pendapat pertama, seperti yang dikemukakan Al-Farra’ dan Ibnu Quthaibah, menyatakan bahwa perintah ini ditujukan kepada wali wanita. Tujuannya agar wali menyerahkan mahar yang diterima dari mempelai laki-laki kepada anak perempuannya, mengingat mahar adalah hak mutlak wanita. Pendapat kedua, dari Alqamah, an-Nakhai, dan Qatadah, mengarahkan perintah ini kepada mempelai laki-laki, agar ia memberikan mahar tersebut langsung kepada istrinya. Riwayat dari Ibnu Abbas menafsirkan “nihlah” sebagai mahar, sementara riwayat lain dari Aisyah menyebutkan “nihlah” berarti kewajiban. Makna “nihlah” sebagai kewajiban memperkuat kedudukan mahar sebagai hak yang harus dipenuhi oleh suami. Dengan demikian, “nihlah” tidak hanya menyiratkan pemberian, tetapi juga sebuah anugerah yang wajib diberikan, menunjukkan nilai spiritual dan material yang terkandung di dalamnya.

Ujur: Upah Kebaikan dan Nilai Harta

Istilah “ujur”, yang merupakan bentuk jamak dari “ujrah”, juga digunakan dalam Al-Qur’an untuk merujuk pada maskawin. Kata ini muncul sebanyak lima kali dalam beberapa surah, seperti An-Nisa (ayat 24 dan 25), Al-Maidah (ayat 5), Al-Ahzab (ayat 50), dan Al-Mumtahanah (ayat 10). Salah satu contoh penggunaannya terdapat dalam Surah An-Nisa ayat 25: “…karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya.” Kata “ujrah” bermakna upah atau imbalan. Keterkaitan “ujur” dengan “ajr” (pahala) memberikan makna bahwa maskawin harus bersifat “mal” atau “mutamawwal”, yaitu berupa harta benda yang memiliki nilai ekonomi. Ini berarti bahwa pemberian maskawin harus memiliki substansi harta yang nyata atau dapat dinilai dengan harta. Konsep “ujur” ini menekankan bahwa pemberian maskawin memiliki nilai ekonomis yang setara dengan upah atau imbalan atas sebuah jasa atau hak, memperjelas aspek kebendaan dan nilai tukar yang terkandung dalam maskawin.

Tawl: Kelebihan Rezeki sebagai Kebutuhan Menikah

Dalam beberapa konteks, Al-Qur’an juga menggunakan istilah “tawl” (kadang dieja “thaul”) untuk merujuk pada sesuatu yang berkaitan dengan kemampuan finansial dalam pernikahan. Salah satu ayat yang memuatnya adalah Surah An-Nisa ayat 25: “Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.” Para ahli tafsir menafsirkan “tawl” sebagai “fadhl” atau anugerah, yang berangkat dari akar kata “thul” yang berarti panjang. Dalam konteks pernikahan, “tawl” diartikan sebagai panjang rezekinya, yaitu kemampuan finansial yang mencukupi untuk menanggung biaya pernikahan dan kelangsungan rumah tangga. Istilah ini lebih menekankan pada kemampuan ekonomi calon suami untuk memberikan nafkah dan memenuhi kebutuhan istrinya. Ini bukan secara langsung merujuk pada besaran maskawin itu sendiri, melainkan pada kapasitas ekonomi yang memungkinkan seorang pria untuk melangsungkan pernikahan dan memenuhi tanggung jawabnya sebagai suami. Konsep “tawl” ini menggarisbawahi pentingnya kesiapan finansial dalam sebuah pernikahan.

Faridhah: Penetapan Maskawin yang Wajib

Al-Qur’an juga menggunakan istilah “faridhah” untuk membahasakan maskawin, yang umumnya bermakna kewajiban. Penggunaan istilah ini dapat ditemukan dalam beberapa ayat di Surah Al-Baqarah, seperti ayat 236 dan 237. Contohnya pada Surah Al-Baqarah ayat 236: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya…” Kemudian pada ayat 237: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah…” Dalam konteks ini, “faridhah” mengacu pada penetapan atau penentuan nilai maskawin. Ahli tafsir memaknai “fardh al-faridhah” sebagai “tasmiyat al-mahr” atau menyebutkan nilai mahar. Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa menetapkan maskawin adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan sebelum atau saat pernikahan dilangsungkan. Penetapan ini penting, terutama jika terjadi perceraian sebelum hubungan suami istri terjalin sepenuhnya. “Faridhah” memperjelas aspek kewajiban dan kepastian dalam pemberian maskawin.

Qinthar: Harta Berlimpah dan Nilai Tak Terukur

Terakhir, Al-Qur’an menggunakan istilah “qinthar” untuk menggambarkan maskawin, yang menyiratkan jumlah yang sangat besar atau melimpah. Dalam Surah An-Nisa ayat 20 disebutkan: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” “Qinthar” secara harfiah berarti “segudang emas”. Makna ini menunjukkan bahwa maskawin bisa berupa harta yang sangat banyak, bahkan tak terukur jumlahnya. Sifat “tak terukurnya” ini diperkuat oleh ungkapan “hani’an mari’an” (lega dan memuaskan) yang sering menyertai pembahasan maskawin, menyiratkan bahwa pemberian yang berlimpah itu akan dinikmati dengan penuh kebahagiaan dan kepuasan, baik oleh penerima maupun orang lain yang terkait. Konsep “qinthar” ini menekankan bahwa tidak ada batasan maksimal untuk besaran maskawin, asalkan itu diberikan dengan kerelaan dan tidak menimbulkan kesulitan yang berlebihan bagi pihak suami.

Dua Jenis Mahar: ‘Ainy dan Naf’iy

Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan petunjuk Hadis, maskawin dapat dikategorikan menjadi dua jenis utama berdasarkan nilai maliyahnya. Pertama adalah mahar “‘ainy”, yang merujuk pada pemberian yang bersifat nyata atau konkret. Ini meliputi benda-benda berharga seperti emas, perak, uang, rumah, tanah, atau barang material lainnya yang memiliki nilai intrinsik. Mahar ‘ainy ini adalah bentuk maskawin yang paling umum berlaku sejak dahulu hingga sekarang. Kedua adalah mahar “naf’iy”, yang berupa jasa atau manfaat dari sebuah benda. Mahar jenis ini berfokus pada nilai guna atau pekerjaan yang dikompensasi sebagai maskawin. Contoh klasik dari mahar naf’iy adalah kisah Nabi Musa AS ketika beliau bekerja menggembala kambing selama delapan tahun sebagai mahar untuk menikahi putri Nabi Syu’aib AS (QS Al-Qashash: 27). Abu Hanifah menyebut mahar semacam ini sebagai “mahar ujrah”, yang juga mencakup pemberian mahar berupa mengajarkan Al-Qur’an. Intinya, ongkos atau nilai dari jasa tersebut dijadikan sebagai mahar.

Bagikan Artikel

Artikel Terkait