Mahar, atau yang dikenal sebagai mas kawin, memegang peranan penting dalam sebuah pernikahan dalam ajaran Islam. Meskipun bukan termasuk rukun pernikahan yang jika tidak terpenuhi menjadikan pernikahan tidak sah, mahar merupakan hak mutlak seorang istri yang wajib dipenuhi oleh suami. Pemberian mahar ini menjadi penanda keseriusan seorang pria dalam meminang pasangannya dan merupakan bukti ikatan cinta yang akan membangun bahtera rumah tangga. Kewajiban memberikan mahar ini didasarkan pada sumber hukum Islam yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad SAW.
Mahar Hak Istri: Pahami Aturan dan Bentuknya dalam Islam
Dalam sebuah kajian, Ustaz Muhammad Saiyid Mahadhir menjelaskan bahwa mahar memang wajib hukumnya, namun menyebutkannya secara spesifik saat akad nikah bukanlah suatu keharusan mutlak yang menjadikan pernikahan batal jika terlewat. Hal ini didukung oleh penafsiran firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 236, yang menegaskan bahwa tidak ada dosa jika menceraikan istri sebelum bercampur dan sebelum menentukan mahar, namun tetap ada anjuran untuk memberikan mut’ah (pemberian) sesuai kemampuan. Meskipun begitu, para ulama berbeda pandangan mengenai keharusan penyebutan mahar saat akad. Mazhab Syafi’i, misalnya, berpendapat bahwa penyebutan mahar saat akad bersifat sunnah, sehingga pernikahan tetap sah meski mahar tidak disebutkan. Namun, secara umum, mahar adalah kewajiban yang harus ditunaikan.
Keutamaan dan Kewajiban Mahar dalam Pernikahan Islam
Baca juga
Mahar dalam Islam bukan sekadar formalitas, melainkan memiliki kedudukan yang tinggi sebagai bentuk penghargaan dan pemenuhan hak seorang istri. Firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 4 secara tegas memerintahkan: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” Ayat ini menegaskan bahwa mahar adalah pemberian yang tulus dari suami kepada istri. Hakikatnya, mahar adalah tanda kasih sayang dan bentuk komitmen seorang pria untuk membangun kehidupan bersama. Jika istri merasa rela dan ikhlas, ia boleh memberikan sebagian atau seluruh maharnya kembali kepada suami untuk dimanfaatkan. Hal ini menunjukkan fleksibilitas dalam pengelolaan mahar, namun dasar kewajibannya tetap ada.
Menurut Mazhab Syafi’i, mahar menjadi wajib karena tiga sebab utama: pertama, jika diwajibkan oleh hakim, misalnya dalam kasus perceraian sebelum ada penetapan mahar. Kedua, jika suami secara sukarela mewajibkan mahar pada dirinya sendiri, baik saat sebelum maupun sesudah akad. Ketiga, yang paling umum, adalah dengan terjadinya jimak (persetubuhan) setelah akad nikah. Dengan terjadinya hubungan suami istri, maka kewajiban mahar secara penuh melekat pada suami, meskipun sebelumnya tidak disebutkan atau disepakati secara rinci.
Ketentuan Bentuk dan Nilai Mahar
Baca juga
Islam memberikan kelonggaran dalam hal bentuk dan nilai mahar, asalkan memenuhi kriteria tertentu. Hadis Nabi Muhammad SAW mengajarkan agar seorang suami berusaha mencari sesuatu untuk dijadikan mahar, meskipun hanya berupa cincin besi. Jika tidak memungkinkan, mahar dapat berupa hafalan surat-surat Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa nilai mahar tidak selalu diukur dari materi semata, tetapi juga dari kesungguhan dan usaha. Para ulama mengklasifikasikan mahar menjadi tiga bentuk utama:
- Tsaman (ثَمَن) atau uang tunai: Ini adalah bentuk mahar yang paling umum, yaitu sejumlah uang yang memiliki nilai tukar dan dapat digunakan untuk membeli berbagai kebutuhan. Sejarah mencatat bahwa mahar Rasulullah SAW kepada istri-istrinya adalah 500 Dirham, yang merupakan nilai yang cukup signifikan pada masa itu.
- Mutsamman (مُثَمَّن) atau benda bernilai jual: Mahar juga bisa berupa barang atau benda yang memiliki nilai ekonomis, seperti perhiasan, kendaraan, atau properti. Contohnya adalah mahar berupa emas seberat biji kurma yang disebutkan dalam kisah sahabat Abdurrahman bin Auf.
- Ujrah (أُجْرَة) atau jasa: Bentuk mahar ini berupa manfaat atau jasa yang diberikan oleh suami kepada istri. Kisah Nabi Musa AS yang menikahi putri Nabi Syuaib AS dengan mahar berupa jasa bekerja selama 8 hingga 10 tahun menjadi contohnya. Mahar berupa jasa ini juga bisa berupa keislaman seseorang, sebagaimana terjadi pada pernikahan Ummu Sulaim dan Abu Thalhah.
Syarat mahar dalam bentuk benda meliputi benda yang memiliki nilai ekonomis (mutamawwil), suci (thohir), bermanfaat (muntafi’ bihi), dapat diserahkan (maqdur), dan diketahui kadarnya (ma’lum). Fleksibilitas ini memungkinkan pasangan untuk menentukan mahar yang sesuai dengan kemampuan dan kesepakatan bersama, namun tetap berpegang pada prinsip kebaikan dan kerelaan.