Nikah Misyar: Solusi Pernikahan Wanita Kaya atau Jleb?

Nikah Misyar: Solusi Pernikahan Wanita Kaya atau Jleb?

8 Oktober 2025
Altair

Nikah misyar, sebuah model pernikahan yang belakangan ini mencuri perhatian dan menimbulkan perdebatan, menawarkan perspektif unik dalam institusi perkawinan. Model ini dicirikan oleh adanya kesepakatan di mana sang istri secara sukarela melepaskan haknya atas nafkah lahiriah dari suami. Konsep ini muncul sebagai respons terhadap kebutuhan dan realitas sosial yang berkembang, terutama di kalangan masyarakat yang dinamis. Peneliti Chomim Tohari dari Islamic Law Marmara University Turkey, dalam hasil penelitiannya, mengupas fenomena ini lebih dalam. Ia menjelaskan bahwa pernikahan misyar lazimnya terjadi ketika seorang suami merantau dalam jangka waktu yang lama dan kemudian menikahi seorang wanita di tempat perantauannya.

Dalam konteks ini, para wanita yang memilih untuk melepaskan hak nafkahnya umumnya adalah individu yang telah mapan secara finansial. Mereka tidak bergantung pada suami untuk memenuhi kebutuhan materiil, melainkan lebih mendambakan pemenuhan kebutuhan batiniah dan kebersamaan. Kesepakatan mengenai kerelaan istri dalam melepaskan hak nafkah ini dicatat secara eksplisit sebagai salah satu syarat dalam akad nikah. Fenomena nikah misyar bukanlah hal yang sepenuhnya baru; ia telah teramati ada dalam masyarakat, baik di masa lalu maupun di era kontemporer.

Memahami Hakikat dan Pelaksanaan Nikah Misyar

Nikah misyar merupakan sebuah bentuk perkawinan yang tidak konvensional, di mana prinsip dasar kerelaan dari kedua belah pihak menjadi fondasi utamanya. Seperti yang dijelaskan oleh Chomim Tohari, inti dari pernikahan ini adalah adanya kesepakatan bahwa pihak istri mengikhlaskan haknya untuk mendapatkan nafkah lahiriah, seperti biaya hidup, tempat tinggal, dan segala kebutuhan materi lainnya, dari suaminya. Hal ini seringkali menjadi solusi ketika seorang suami memiliki pekerjaan yang mengharuskannya merantau dalam periode waktu yang cukup lama. Dalam situasi seperti ini, sang suami mungkin tidak dapat secara penuh memenuhi kewajiban nafkah sebagaimana lazimnya dalam pernikahan konvensional, sementara sang istri memiliki kemapanan finansial sendiri dan tidak memprioritaskan aspek materiil dari pernikahan tersebut.

Lebih lanjut, Chomim Tohari menyoroti bahwa para wanita yang memilih model pernikahan ini seringkali adalah mereka yang sudah mandiri secara ekonomi. Kebutuhan mereka lebih terfokus pada aspek emosional dan pemenuhan kebutuhan batiniah yang dapat diberikan oleh seorang suami. Pernyataan mengenai kerelaan sang istri untuk tidak menuntut nafkah tersebut, menurutnya, harus diutarakan secara jelas dan dicantumkan sebagai syarat dalam ikatan akad nikah. Hal ini penting untuk memastikan adanya transparansi dan kejelasan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak, sehingga terhindar dari potensi kesalahpahaman di kemudian hari.

Konteks Sosial dan Ekonomi dalam Pernikahan Misyar

Fenomena nikah misyar, seperti yang dikemukakan oleh Chomim Tohari, telah lama ditemukan dan masih relevan di masyarakat saat ini. Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam karyanya “Hady al-Islam Fatawi Mu’asirah” memberikan gambaran lebih rinci mengenai konteks sosial dan ekonomi yang melatarbelakangi praktik ini. Ia mencatat bahwa di negara-negara Teluk seperti Qatar, fenomena bepergian dalam jangka waktu berbulan-bulan adalah hal yang umum. Sebagian pria dari negara-negara ini terkadang melakukan pernikahan misyar dengan wanita di tempat perantauan mereka, yang bisa berasal dari Afrika, Asia, atau bahkan wanita kaya lokal. Tujuan dari pernikahan ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis semata, tetapi juga sebagai cara untuk mempertahankan keberlangsungan hidup dan keseharian mereka selama berada jauh dari tanah air.

Lebih menarik lagi, Syaikh Yusuf al-Qardhawi juga mengamati praktik serupa di negara-negara Barat yang maju, di mana mayoritas penduduknya memiliki latar belakang karier yang mapan dan kondisi ekonomi yang stabil, bahkan berlimpah. Dalam lingkungan seperti ini, di mana kaum perempuan seringkali memiliki kemandirian finansial yang kuat, nikah misyar menjadi pilihan yang lazim di kalangan komunitas Muslim. Situasi ini seringkali terlihat ketika seorang wanita yang telah berstatus janda memutuskan untuk menikah kembali. Mengingat sang wanita biasanya sudah memiliki tempat tinggal dan anak-anak dari pernikahan sebelumnya, sang suami yang melakukan pernikahan misyar akan datang mengunjungi rumah sang istri, mungkin satu atau dua hari dalam seminggu. Dalam skenario ini, suami misyar tidak memberikan kontribusi materiil apa pun, baik dalam bentuk nafkah maupun penyediaan tempat tinggal, karena sang istri sudah memiliki aset dan kebutuhan yang terpenuhi.

Perdebatan Ulama Kontemporer Mengenai Nikah Misyar

Sebagaimana bentuk-bentuk pernikahan lain yang memiliki kekhasan, nikah misyar juga tidak luput dari perdebatan sengit di kalangan ulama kontemporer. Hal ini sangat beralasan mengingat model pernikahan ini relatif baru dan belum memiliki landasan hukum yang seragam dalam tradisi fikih Islam yang telah mapan. Chomim Tohari menggarisbawahi bahwa perbedaan pendapat ini muncul karena cara pandang yang berbeda dalam menafsirkan dalil-dalil syariat dan mengaitkannya dengan kondisi sosial yang berubah. Beberapa ulama mungkin melihatnya sebagai penyimpangan dari hakikat pernikahan yang seharusnya memberikan perlindungan dan nafkah bagi istri, sementara yang lain berargumen bahwa selama ada kerelaan dari kedua belah pihak dan syarat-syarat rukun nikah terpenuhi, maka pernikahan tersebut sah.

Chomim Tohari lebih lanjut menjelaskan bahwa di Indonesia, isu mengenai nikah misyar sejauh ini belum banyak dikaji secara mendalam atau diperdebatkan secara luas oleh para ahli hukum Islam. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena ini belum menjadi isu yang menonjol atau belum banyak diadopsi dalam praktik pernikahan di tanah air. Oleh karena itu, literatur dan kajian hukum Islam yang spesifik mengenai nikah misyar di Indonesia masih tergolong terbatas. Perdebatan ini penting untuk terus dilanjutkan agar masyarakat memiliki pemahaman yang utuh dan adil mengenai status hukum dan implikasi sosial dari pernikahan misyar.

Bagikan Artikel

Artikel Terkait