Nikah: Putusan Verstek Cerai Terhadap Suami dalam Perspektif Fikih

Deskripsi Masalah

Dinamika kehidupan rumah tangga terkadang berujung pada perceraian. Di masyarakat modern, khususnya di perkotaan, seringkali pasangan memilih jalur pengadilan daripada bercerai secara langsung, terutama jika perceraian diinginkan oleh istri. Hal ini bisa terjadi karena suami menikah lagi tanpa izin istri atau karena istri sudah tidak memiliki cinta lagi pada suami.

Dalam kondisi tersebut, istri mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Namun, tak jarang suami tidak menghadiri persidangan karena masih ingin mempertahankan hubungan. Akibatnya, setelah dilakukan pemanggilan, hakim Pengadilan Agama memutuskan perceraian meskipun suami tidak hadir, yang dikenal dengan istilah putusan verstek.

Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan jika tergugat tidak hadir atau tidak mewakilkan kuasanya untuk menghadiri persidangan, meskipun telah dipanggil secara sah. Jika tergugat tidak mengajukan upaya hukum verzet (perlawanan) terhadap putusan verstek, maka putusan tersebut dianggap berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan Pasal 125 Herzien Indlandsch Reglement (HIR) (S.1941-44), hakim dapat menjatuhkan putusan verstek jika suami (sebagai tergugat) sama sekali tidak datang dan tidak mewakili kuasanya.

Pada dasarnya, setiap orang yang menjadi tergugat berhak mengajukan pembelaan diri. Suatu putusan Verstek hanya dapat dijatuhkan dengan syarat:

Tergugat telah dipanggil secara sah dan patut, namun tidak hadir tanpa alasan yang sah, dan juga Tergugat tidak mengajukan eksepsi kompetensi (kewenangan) pengadilan.

Dari keputusan ini, banyak wanita yang kemudian menikah lagi karena menganggap diri mereka sudah tidak bersuami.

Pertanyaan

Bagaimana pandangan fikih terkait putusan verstek yang dijatuhkan hakim pengadilan hanya karena istri tidak cinta lagi atau karena suami menikah lagi tanpa izin?

Jawaban

Hakim tidak boleh memutuskan Verstek. Jika ada kondisi yang lebih parah, maka bisa ditempuh dengan cara khulu’.

Referensi

Pertanyaan

Bagaimana status pernikahan istri dengan suami barunya atas dasar keputusan verstek ini?

Jawaban

Karena keputusan verstek dengan alasan di atas tidak bisa dibenarkan dalam pandangan fikih, maka pernikahannya tidak sah.

Apabila keputusan verstek didasari fakta-fakta hukum yang dibenarkan secara syariat, maka hukum pernikahannya sah.

Fakta-fakta hukum yang dibenarkan secara syariat di antaranya sebagai berikut:

• Vonis cerai harus dilakukan setelah penetapan ketidakmampuan suami menafkahi istrinya berdasarkan pengakuan suami, saksi, atau pengetahuan hakim secara langsung, dan setelah memberi batas waktu selama 3 hari.
• Vonis cerai disebabkan tindak kekerasan suami harus berdasarkan bukti dua saksi laki-laki.

Catatan:

Pada dua permasalahan di atas, hakim hanya berhak menjatuhkan satu kali talak. Apabila hakim tidak memenuhi ketentuan di atas dan tetap menjatuhkan vonis talak, sementara hubungan suami istri tidak mungkin dapat dipertahankan lagi, maka suami dianjurkan menjatuhkan talak.

Refrensi

Pertanyaan

Jika tidak sah, maka langkah apa yang harus dilakukan terkait pernikahan kedua?

Jawaban

Wajib diceraikan.

Referensi

Pertanyaan

Bagaimana status anak yang lahir setelah pernikahan kedua?

Jawaban

Status anak tersebut bukan anak zina, karena hubungan badan yang dilakukan dalam pernikahan kedua merupakan wathi’ syubhat, dan untuk nasabnya ditafsil:

• Jika hanya mungkin dinisbatkan kepada salah satu dari keduanya, maka dinisbatkan kepada pihak yang anak tersebut mungkin dinisbatkan kepadanya.
• Jika memungkinkan untuk dinisbatkan kepada keduanya, maka qoif atau tes DNA yang menentukan penisbatannya.

Referensi

Wallaahu a’lam

SUMBER:

http://ppssnh.malang.pesantren.web.id/cgi-bin/content.cgi/masail/wilayah/tuban_2018/02.single?seemore=y

Notes:

www.fb.com/notes/2046606862028778

# Rabbi zidna ‘ilman nafi’a #