Jika Bersenggama Dijadikan Ibadah Wirid

Jika Bersenggama Dijadikan Ibadah Wirid

2 Oktober 2025
Rayyan

Pertanyaan

Ahmada adalah seorang santri yang beristrikan Nazyla. Mereka menikah selain dijodohkan oleh kedua orang tua mereka, juga karena keduanya saling mencintai. Untuk tetap menjaga cinta suci itu dan membahagiakan istrinya, apapun dilakukan oleh Ahmada sesuai dengan ilmu yang telah ia pelajari di pesantren. Tak terkecuali pada masalah jima’. Ahmada punya komitmen untuk mewiridkan jima’ yang bernilai ibadah di setiap empat malam sekali. Nazyla pun meng-amini tekad sang suami. Dan akhirnya mereka berdua melaksanakan wirid jima’ itu. Pertanyaan:

Sesuai deskripsi di atas, andai suatu saat Ahmada tidak bisa melaksanakan wirid jima’nya karena ada udzur, apakah ia disunnahkan mengqodlo’nya di waktu / malam yang lain?

Jawaban

Jima’ jika tidak menjadi wirid tidak sunnah diqodho. Namun, jima’ yang bernilai ibadah dan sudah menjadi wirid, sunnah diqodho’.

Jima’ bernilai sebagai ibadah, apabila diniati:

  1. Memenuhi hak istri dan menggaulinya dengan baik sesuai yang diperintahkan oleh Allâh Ta’âlâ, atau
  2. Mendapatkan anak sholih, atau
  3. Menjaga diri (dari zina), atau menjaga istri (dari zina) dan agar keduanya tercegah dari pandangan, fikiran, dan maksud yang diharamkan (ghodhdhul bashor), atau
  4. Tujuan baik lainnya.

Berikut adalah dalil yang mendukung:

شَرْحُ النَّوَوِيِّ عَلَى مُسْلِمٍ ، جـ ٧ ، صـ ٩٢

فَالْجِمَاعُ يَكُوْنُ عِبَادَةً إِذَا نَوَى بِهِ قَضَاءَ حَقِّ الزَّوْجَةِ وَمُعَاشَرَتِهَا بِالْمَعْرُوْفِ الَّذِيْ أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ أَوْ طَلَبَ وَلَدًا صَالِحًا أَوْ إِعْفَافَ نَفْسِهِ أَوْ إِعْفَافَ زَوْجَتِهِ وَمَنَعَهُمَا جَمِيْعًا مِنَ النَّظَرِ إِلَى حَرَامٍ أَوِ الْفِكْرِ فِيْهِ أَوِ الْهَمِّ بِهِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْمَقَاصِدِ الصَّالِحَةِ

Artinya: Jima’ menjadi ibadah jika diniatkan untuk memenuhi hak istri, bergaul dengan baik sebagaimana yang Allah perintahkan, mencari keturunan yang saleh, menjaga diri dari zina, atau menjaga istri dari zina dan mencegah keduanya dari melihat, memikirkan, atau menginginkan hal yang haram, atau tujuan baik lainnya.

Dalam I’anatu-tholibin disebutkan bahwa wirid yang terlewatkan (fâit) disunnahkan untuk diqodlo’.

[ إِعَانَةُ الطَّالِبِيْن ]

(قَوْلُهُ: وَكَذَا غَيْرُ الصَّلَاةِ) أَيْ وَكَذَلِكَ يُنْدَبُ قَضَاءُ الْوِرْدِ الْفَائِتِ مِنْ غَيْرِ الصَّلَاةِ لِمَا قَدَّمْنَا.

Artinya: Demikian juga, disunnahkan mengqodlo’ wirid selain shalat yang terlewatkan.

Dalam Al-Mausu’ah Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, disebutkan bahwa jima’ yang dilakukan secara rutin pada waktu tertentu termasuk wirid.

الْوِرْدُ هُوَ مَا يُرَتِّبُهُ الْإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ كُلَّ يَوْمٍ أَوْ لَيْلَةٍ مِنْ عَمَلٍ، وَيُنْظَرُ آرَاءُ الْفُقَهَاءِ فِي الْأَحْكَامِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِهَا فِي مُصْطَلَحِ (وِرْد) .

Imam Nawawi dalam Al-Futuhaturrobaniyah ‘ala al adzkar nawawi juga menjelaskan tentang pentingnya mengqodlo’ wirid yang terlewat, serta keutamaan melakukannya.

فَصْلٌ: يَنْبَغِي لِمَنْ كَانَ لَهُ وَظِيفَةٌ مِنَ الذِّكْرِ فِي وَقْتٍ مِنَ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ، أَوْ عَقِيبَ صَلَاةٍ أَوْ حَالَةٍ مِنَ الْأَحْوَالِ فَفَاتَتْهُ، أَنْ يَتَدَارَكَهَا وَيَأْتِيَ بِهَا إِذَا تَمَكَّنَ مِنْهَا وَلَا يُهْمِلَهَا، فَإِنَّهُ إِذَا اعْتَادَ الْمُلَازَمَةَ عَلَيْهَا لَمْ يَعْرِضْهَا لِلتَّفْوِيتِ، وَإِذَا تَسَاهَلَ فِي قَضَائِهَا سَهُلَ عَلَيْهِ تَضْيِيعُهَا فِي وَقْتِهَا.

Artinya: Sepatutnya bagi orang yang memiliki wirid pada waktu malam atau siang, atau setelah shalat, atau dalam keadaan tertentu, kemudian terlewat, hendaklah ia menggantinya dan mengerjakannya jika memungkinkan, dan jangan mengabaikannya. Karena jika ia membiasakan diri untuk melaziminya, ia tidak akan melewatkannya. Dan jika ia meremehkan untuk mengqodlo’nya, maka akan mudah baginya untuk menyia-nyiakannya pada waktunya.

Waktu untuk mengqodlo’ wirid jima’ yang terlewatkan bisa kapan saja ada kesempatan dan waktu luang.

قَضَاءُ الْفَوَائِتِ مِنَ الْأَوْرَادِ:

٢١ – يَنْبَغِي لِمَنْ كَانَ لَهُ وَرْدٌ فِي وَقْتٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ، أَوْ عَقِبَ صَلَاةٍ، أَوْ حَالَةٍ مِنَ الْأَحْوَالِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالْأَوْقَاتِ، فَفَاتَهُ أَنْ يَسْتَدْرِكَ الْوِرْدَ الْفَائِتَ، فَيَأْتِيَ بِهِ إِذَا تَمَكَّنَ فِيْهِ، فَإِنَّهُ إِذَا تَسَاهَلَ فِي قَضَائِهِ هَانَ عَلَيْهِ تَضْيِيْعُهُ فِي وَقْتِهِ، فَيَنْبَغِي أَنْ يَتَدَارَكَهُ حَتَّى يَصْدُقَ عَلَيْهِ أَنَّهُ مُدِيْمٌ لِلذِّكْرِ مُوَاظِبٌ عَلَيْهِ،

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, jika Ahmada memiliki udzur sehingga tidak dapat melaksanakan wirid jima’, maka ia disunnahkan untuk mengqodlo’nya di waktu atau malam yang lain. Hal ini berlaku jika jima’ tersebut diniatkan sebagai ibadah dan telah menjadi wirid yang rutin dilakukan.

Bagikan Artikel

Artikel Terkait