Kewajiban Suami Mencari Nafkah: Dalil Quran & Hadis

Kewajiban Suami Mencari Nafkah: Dalil Quran & Hadis

10 Oktober 2025
Altair

Mencari nafkah adalah salah satu pilar utama dalam ajaran Islam, yang menekankan pentingnya tanggung jawab finansial, terutama bagi seorang suami terhadap keluarganya. Kewajiban ini bukan sekadar pemenuhan kebutuhan fisik, melainkan sebuah bentuk ibadah yang mendatangkan pahala besar di sisi Allah SWT. Islam telah mengatur secara rinci mengenai hak dan kewajiban ini, baik melalui ayat-ayat suci Al-Qur’an maupun melalui sabda dan teladan Nabi Muhammad SAW. Memahami landasan ini sangat krusial bagi setiap Muslim agar dapat menjalankan peran dan tanggung jawabnya dalam keluarga dengan baik dan penuh kesadaran.

Ajaran Islam secara tegas menetapkan bahwa suami memiliki kewajiban untuk menyediakan nafkah bagi istri dan anak-anaknya. Hal ini termaktub dalam firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 233, yang memerintahkan para ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf, atau sesuai dengan kebiasaan dan kemampuan yang baik. Ayat ini juga menekankan bahwa seseorang tidak dibebani melainkan sesuai dengan kesanggupannya, sehingga tuntutan nafkah haruslah proporsional dengan kemampuan suami. Selain itu, ayat ini mengingatkan agar tidak ada pihak yang menderita, baik ibu karena anaknya maupun ayah karena anaknya, menunjukkan perhatian Islam terhadap kesejahteraan seluruh anggota keluarga. Konteks ayat ini juga mencakup tanggung jawab waris, yang semakin memperkuat prinsip saling menanggung dalam keluarga. Kewajiban ini menjadi landasan utama yang harus dipahami dan dilaksanakan oleh setiap suami sebagai pemimpin rumah tangga, demi terciptanya keluarga yang harmonis, sejahtera, dan diberkahi oleh Allah SWT.

Keutamaan Memberi Nafkah Keluarga dalam Islam

Keutamaan memberi nafkah kepada keluarga sangat ditekankan dalam Islam, bahkan menjadikannya sebagai amal infak yang paling utama dengan pahala yang sangat besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadis agung ini menunjukkan betapa Islam sangat menghargai suami yang menafkahi keluarganya dengan niat ikhlas karena Allah. Hal ini menegaskan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan untuk kebaikan keluarga, terutama dengan niat mengharap ridha Allah, akan menjadi bekal berharga di akhirat. Lebih lanjut, sebuah hadis lain dari Muslim menyatakan, “Dinar (uang) yang kamu infakkan (untuk kepentingan berjihad) di jalan Allah, dinar yang kamu infakkan untuk memerdekakan budak, dinar yang kamu sedekahkan untuk orang miskin, dan dinar yang kamu infakkan untuk (kebutuhan) keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah dinar yang kamu infakkan untuk keluargamu.” Ini menunjukkan prioritas nafkah keluarga di atas berbagai bentuk infak lainnya, menggambarkan betapa mulianya peran seorang pencari nafkah bagi keluarganya.

Batasan dan Kemampuan dalam Memberikan Nafkah

Islam memberikan panduan yang jelas mengenai prinsip pemberian nafkah yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surat At-Talaq ayat 7, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” Ayat ini mengajarkan fleksibilitas dalam memberikan nafkah. Bagi mereka yang memiliki kelapangan rezeki, kewajiban mereka adalah memberi nafkah sesuai dengan kelimpahan karunia yang Allah berikan. Sementara itu, bagi mereka yang diberikan rezeki lebih sempit, mereka tetap diwajibkan memberi nafkah, namun sesuai dengan kadar harta yang mereka miliki. Prinsip “taklif” atau beban yang diberikan tidak akan melebihi kemampuan seseorang merupakan inti dari ayat ini, yang menunjukkan keadilan dan kasih sayang Allah. Hal ini juga memberikan harapan bahwa bagi yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, Allah akan membuka jalan kemudahan di masa mendatang. Dengan demikian, konsep nafkah dalam Islam adalah dinamis, selalu beriringan dengan kemampuan individu tanpa mengabaikan kewajiban untuk menafkahi keluarga.

Menjaga Kebutuhan Keluarga dan Cara Mengambil Harta Suami

Dalam situasi di mana suami terkesan pelit atau tidak memenuhi kebutuhan keluarganya secara memadai, Islam memberikan solusi yang bijaksana. Sebuah riwayat dari Hindun binti Utbah yang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengadukan kesulitan karena suaminya tidak memberi nafkah yang cukup untuk anak-anaknya, dan ia terpaksa mengambil harta suaminya secara diam-diam untuk mencukupi kebutuhan mereka. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Ambillah (dari harta suamimu) apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhari). Hadis ini menegaskan bahwa suami wajib memberikan nafkah yang cukup dan tidak boleh terlalu kikir kepada keluarganya. Jika suami lalai dalam kewajibannya, istri diperbolehkan mengambil harta suami secukupnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, namun harus dilakukan dengan cara yang baik dan tidak berlebihan. Pengambilan haruslah untuk menutupi kekurangan yang ada, bukan untuk kesenangan pribadi yang tidak perlu. Tindakan ini merupakan jalan keluar terakhir ketika komunikasi dan peringatan secara lisan tidak membuahkan hasil, dan tetap mengutamakan kehati-hatian agar tidak menimbulkan fitnah atau kesalahpahaman yang lebih besar. Hal ini menunjukkan komitmen Islam untuk memastikan kesejahteraan anak-anak dan istri selalu terjaga.

Nafkah Keluarga Sebagai Bentuk Kesempurnaan Agama

Dalam pandangan Islam, memberikan nafkah kepada keluarga memiliki nilai yang sangat tinggi, bahkan disamakan dengan setengah kesempurnaan agama seseorang. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ketika seorang hamba menikah, berarti dia telah menyempurnakan setengah agamanya. Maka bertaqwalah kepada Allah pada setengah sisanya.” (HR. Baihaqi). Sabda ini menggarisbawahi betapa pentingnya pernikahan dan segala tanggung jawab yang menyertainya, termasuk kewajiban menafkahi. Menikah dan membentuk keluarga adalah sebuah ibadah yang sangat dianjurkan, dan salah satu aspek terpenting dalam menjaga kelangsungan ibadah tersebut adalah dengan memenuhi kebutuhan materiil keluarga. Dengan memenuhi kewajiban nafkah, seorang Muslim telah menjaga setengah dari agamanya, yang berarti ia telah terhindar dari banyak godaan dan dosa yang seringkali timbul akibat kesulitan ekonomi atau ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Sisa setengah agama yang perlu dijaga adalah dengan terus bertakwa kepada Allah dalam aspek kehidupan lainnya, memastikan ibadah dan akhlak tetap terjaga kesempurnaannya. Oleh karena itu, tanggung jawab mencari nafkah bagi keluarga bukan hanya sekadar kewajiban duniawi, melainkan bagian integral dari upaya menyempurnakan keislaman seseorang.

Anjuran Memberi Nafkah yang Layak dan Penuh Kasih Sayang

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya menekankan kewajiban memberi nafkah, tetapi juga memberikan panduan mengenai cara memberikannya, yaitu dengan cara yang layak dan penuh kasih sayang. Beliau pernah memberikan nasihat terkait nafkah, dengan sabdanya, “Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasihat) selain di rumah.” (HR. Abu Daud). Nasihat ini mencakup dua aspek penting: pemenuhan kebutuhan materiil dan perlindungan terhadap kehormatan serta martabat istri. Memberi makan dan pakaian sebagaimana diri sendiri makan dan berpakaian menyiratkan bahwa istri dan anggota keluarga berhak mendapatkan standar hidup yang layak, sesuai dengan kemampuan suami. Ini juga mencakup aspek keadilan dan kasih sayang dalam pemberiannya. Selain itu, larangan memukul wajah, menjelek-jelekkan, dan memboikot tanpa alasan yang syar’i menunjukkan bahwa interaksi dalam rumah tangga harus didasari oleh kebaikan, rasa hormat, dan komunikasi yang konstruktif. Hal ini menegaskan bahwa nafkah yang diberikan harus disertai dengan perlakuan yang baik, menciptakan lingkungan rumah tangga yang aman, harmonis, dan penuh cinta.

Bagikan Artikel

Artikel Terkait