Menteri Agama Nasaruddin Umar mendorong pondok pesantren (ponpes) untuk mengembangkan tradisi intelektual yang kritis dan multidisipliner dalam mengkaji kitab-kitab turats. Dorongan ini disampaikan saat membuka Halaqah Internasional di Pesantren As’adiyah Pusat Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan, dengan tema “Transformasi Sosio-Ekologis dan Solusi Epistemologis Berbasis Turats”. Nasaruddin menekankan pentingnya pemahaman Al-Qur’an yang komprehensif, meliputi tiga objek utama bacaan: alam semesta (makrokosmos), diri manusia (mikrokosmos), dan wahyu Ilahi.
Pesantren Didorong Kembangkan Tradisi Intelektual Kritis Berbasis Turats
Beliau mengartikan kata “iqra'” bukan hanya sebagai membaca huruf, tetapi juga menghimpun, di mana manusia menjadi himpunan paling sempurna yang mencakup seluruh unsur makrokosmos. Konsep ini diperkuat oleh Ibnu Arabi yang menyebut manusia sebagai makrokosmos sejati. Pesantren diminta untuk tidak berhenti pada bacaan tekstual semata. Al-Qur’an harus dipahami tidak hanya sebagai kitab petunjuk, tetapi juga sebagai “kalamullah” yang hanya dapat diakses melalui ketakwaan dan kedalaman spiritual. Nasaruddin menguraikan empat tingkatan bacaan Al-Qur’an: teks, isyarat, lathaif, dan haqaiq, menyoroti kedalaman makna yang melampaui hafalan atau tafsir tekstual.
Menteri Agama mengaitkan tema halaqah dengan krisis ekologi, menyatakan bahwa solusi lingkungan memerlukan pembaruan cara berpikir (logos) dan fondasi teologis, bukan sekadar perubahan perilaku (ethos). Peran “turats” sebagai fondasi epistemologis sangat krusial. Pesantren dituntut mengkaji “turats” dengan pendekatan multidisipliner seperti semantik, filologi, dan antropologi agar khazanah klasik tetap relevan. “Kitab turats” didefinisikan sebagai karya ulama mumpuni yang menghayati filosofi Al-Qur’an dan hadis, serta mampu mengangkat martabat kemanusiaan.
Baca juga
Lebih lanjut, Nasaruddin menegaskan bahwa membaca dalam Islam melampaui dimensi tekstual. Tradisi “iqra'” harus dibarengi kesadaran kritis terhadap realitas sosial dan ekologis, dengan “turats” sebagai basis epistemologis. Al-Qur’an dipandang sebagai konfirmasi, bukan sekadar informasi, yang mengaitkan bacaan alam, diri, dan wahyu, membentuk tradisi ilmiah pesantren.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno, menambahkan pentingnya kontekstualisasi “maqashid al-syariah”, menyoroti pesan ekologis dalam bab “thaharah” (kebersihan) dalam fikih. Menjaga air dan lingkungan diartikan sebagai ibadah, sebuah bentuk ekoteologi yang membaca kehidupan dan alam melalui Al-Qur’an dan “turats”. Suyitno menekankan peran strategis pesantren dalam melahirkan fikih yang responsif terhadap isu modern, termasuk krisis lingkungan, dengan “turats” sebagai fondasi dan realitas sebagai landasan praktis.
Baik Menteri Agama maupun Dirjen sepakat bahwa pesantren harus menjadi pusat peradaban. Tradisi intelektual Islam yang mengintegrasikan bacaan teks, “turats”, alam, dan diri diharapkan mampu menjawab tantangan zaman serta menjaga keluhuran nilai Islam. Agenda ini turut menghadirkan narasumber akademisi terkemuka dari Indonesia, Mesir, dan Maroko, menandai momentum penting untuk mengembalikan pesantren sebagai pilar peradaban yang menghadirkan Islam yang kontekstual, ekologis, dan solutif bagi kehidupan modern.
Baca juga
Pengembangan Intelektual Kritis di Pesantren
Menteri Agama Nasaruddin Umar mendorong pesantren untuk bertransformasi menjadi pusat pengembangan intelektual yang tidak hanya mendalami teks agama, tetapi juga mampu melakukan kajian kritis terhadap kitab-kitab “turats” (warisan intelektual Islam). Pendekatan multidisipliner menjadi kunci dalam upaya ini, memungkinkan para santri dan ulama untuk melihat “turats” melalui berbagai lensa keilmuan, mulai dari linguistik, sejarah, hingga ilmu sosial dan lingkungan. Hal ini sejalan dengan perintah Al-Qur’an untuk membaca secara komprehensif, yang mencakup tiga aspek utama: alam semesta (“makrokosmos”), diri manusia (“mikrokosmos”), dan wahyu Ilahi.
Konsep “iqra'” yang diartikan sebagai “menghimpun” menjadi landasan penting. Manusia, sebagai himpunan unsur “makrokosmos” yang paling sempurna, memiliki kapasitas untuk memahami keterkaitan antara ciptaan, diri sendiri, dan Sang Pencipta. Pesantren diharapkan melampaui pemahaman tekstual Al-Qur’an, yang seringkali hanya berhenti pada “kitabullah” atau “tafsir”. Namun, pemahaman yang mendalam (“kalamullah”) hanya dapat dicapai melalui ketakwaan dan kedalaman spiritual. Nasaruddin menguraikan empat tingkatan pemahaman Al-Qur’an: teks, isyarat, “lathaif”, dan “haqaiq”, menunjukkan bahwa masih banyak lapisan makna yang dapat digali melampaui apa yang tampak di permukaan.
Baca juga
Hal ini penting agar pesantren tidak hanya bangga dengan hafalan atau kemampuan menafsirkan, tetapi juga mampu menggali esensi terdalam dari ajaran agama. Tradisi intelektual kritis ini akan membekali para santri untuk menghadapi kompleksitas zaman modern dengan bekal keilmuan yang utuh dan mendalam. Pengembangan tradisi ini juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas pemikiran keagamaan yang lebih kontekstual dan relevan dengan tantangan masa kini, khususnya dalam menghadapi isu-isu global.
Fondasi Teologis dan Ekoteologi dalam “Turats”
Halaqah Internasional di Wajo ini secara khusus mengangkat tema “Transformasi Sosio-Ekologis dan Solusi Epistemologis Berbasis Turats”, yang menekankan keterkaitan antara krisis lingkungan dan cara pandang keagamaan. Menteri Agama Nasaruddin Umar berpendapat bahwa penanganan krisis ekologi tidak cukup hanya dengan mengubah perilaku (“ethos”), tetapi memerlukan pembaruan fundamental pada cara berpikir (“logos”), bahkan pada akar teologisnya. Mustahil terjadi perubahan “ethos” tanpa perubahan “logos”, dan mustahil “logos” berubah tanpa meninjau kembali fondasi teologi yang mendasarinya.
Di sinilah peran “turats” menjadi sangat vital sebagai fondasi epistemologis. “Turats” yang otentik, yang ditulis oleh ulama “mumpuni” dan menghayati filosofi Al-Qur’an serta hadis, memiliki potensi besar untuk menawarkan solusi bagi permasalahan lingkungan. Pesantren dituntut untuk mengkaji “turats” ini dengan pendekatan multidisipliner, seperti semantik, filologi, dan antropologi, agar khazanah klasik ini tetap hidup dan relevan. “Kitab turats” bukan sembarang kitab kuning, melainkan karya yang mampu mengangkat martabat kemanusiaan dan mendekatkan diri kepada Allah.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno, memperjelas konsep ekoteologi dengan mengaitkannya pada bab “thaharah” (kebersihan) dalam “fiqih”. Ia berpendapat bahwa menjaga kebersihan, termasuk kebersihan lingkungan dan air, adalah bagian integral dari ibadah. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Islam, sebagaimana termaktub dalam “turats”, sesungguhnya memiliki dimensi ekologis yang kuat dan relevan untuk diterapkan dalam konteks modern. Dengan demikian, “turats” berfungsi sebagai sumber inspirasi dan landasan teologis untuk mengembangkan “ekoteologi”, yaitu cara pandang yang memadukan pemahaman Al-Qur’an dan “turats” dengan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian alam semesta. Ini adalah wujud konkret bagaimana pesantren dapat berkontribusi dalam mengatasi krisis lingkungan melalui warisan intelektual Islam yang mendalam.
Pesantren sebagai Pilar Peradaban dan Pusat Kebijakan Publik
Menteri Agama Nasaruddin Umar dan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Amien Suyitno sepakat bahwa pesantren memiliki peran strategis untuk tampil sebagai pusat peradaban modern. Tradisi intelektual Islam yang mampu menyatukan bacaan teks Al-Qur’an, kajian mendalam terhadap “turats”, pemahaman alam semesta, dan introspeksi diri, diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan zaman. Selain itu, pesantren juga dituntut untuk menjaga keluhuran nilai-nilai Islam di tengah arus globalisasi dan modernisasi.
Dengan menjadikan “turats” sebagai fondasi epistemologis dan realitas sosial-ekologis sebagai “ladang” praksis, halaqah ulama internasional ini diharapkan mampu melahirkan gagasan-gagasan inovatif. Gagasan-gagasan ini tidak hanya bermanfaat bagi internal umat Islam, tetapi juga diharapkan dapat menjadi rujukan penting bagi perumusan kebijakan publik, terutama yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Ini menunjukkan bahwa pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan agama, tetapi juga sebagai pusat intelektual yang mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat luas.
Pesantren didorong untuk melakukan transformasi dari sekadar membaca teks menuju “membaca semesta”, dan dari “turats” menuju analisis kritis terhadap realitas kontemporer. Dengan demikian, pesantren dan para ulama dapat menghadirkan Islam yang “kontekstual”, “ekologis”, dan “solutif” bagi kehidupan modern. Keberadaan narasumber akademisi terkemuka dari Indonesia, Timur Tengah (Mesir dan Maroko), dalam sesi panel diskusi, semakin memperkuat potensi kolaborasi dan pertukaran gagasan. Halaqah ulama internasional di Wajo ini menjadi momentum penting untuk menegaskan kembali posisi pesantren sebagai pilar peradaban yang relevan dan memiliki daya saing dalam menghadapi kompleksitas dunia abad ke-21.