3 Golongan Manusia dalam Mencari Nafkah: Pahami Strategi Hidup Anda

3 Golongan Manusia dalam Mencari Nafkah: Pahami Strategi Hidup Anda

11 Oktober 2025
Altair

Dalam Islam, mencari nafkah yang halal bukan sekadar kewajiban duniawi, melainkan sebuah ibadah mulia yang memiliki nilai spiritual tinggi. Ketika niatnya tulus karena Allah dan ditujukan untuk menafkahi keluarga, usaha tersebut bahkan disetarakan dengan perjuangan di jalan Allah (Jihad fii sabilillah). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya orientasi yang benar dalam bekerja. Seorang muslim hendaknya tidak menjadikan kesuksesan duniawi sebagai satu-satunya tujuan. Sebaliknya, kehidupan akhirat harus menjadi prioritas utama yang senantiasa diperhatikan. Keutamaan bekerja mencari nafkah yang halal telah ditegaskan dalam berbagai hadis Nabi Muhammad SAW. Imam Al-Ghazali dalam karyanya “Ihya Ulumiddin” mengutip beberapa sabda Rasulullah yang menggarisbawahi pentingnya hal ini. Di antaranya adalah sabda beliau yang menyatakan bahwa ada dosa-dosa yang hanya bisa terhapuskan melalui kesulitan dalam mencari penghidupan. Lebih lanjut, disebutkan pula bahwa saudagar yang jujur akan mendapatkan kedudukan tinggi di akhirat, sejajar dengan para shiddiqin dan syuhada. Riwayat lain menggambarkan kebahagiaan bagi mereka yang mencari rezeki halal untuk keluarga, berbuat baik kepada tetangga, serta menjaga diri dari meminta-minta, yaitu akan menjumpai Allah SWT dengan wajah berseri layaknya cahaya bulan purnama. Ini menegaskan bahwa kerja keras yang dibarengi dengan niat yang lurus dan akhlak mulia akan mendatangkan keberkahan di dunia dan akhirat.

Tiga Golongan Manusia dalam Mencari Penghidupan

Imam Al-Ghazali membagi manusia menjadi tiga golongan utama dalam cara mereka mencari nafkah atau penghidupan. Pembagian ini didasarkan pada orientasi dan tujuan hidup mereka dalam bekerja. Pemahaman mengenai ketiga golongan ini penting agar kita dapat mengintropeksi diri dan berusaha berada dalam golongan yang diridhai.

1. Golongan yang Melupakan Akhirat

Golongan pertama adalah mereka yang sepenuhnya melupakan kehidupan akhirat. Pencarian duniawi menjadi satu-satunya tujuan hidup mereka. Segala upaya, waktu, dan tenaga dicurahkan semata-mata untuk mengumpulkan harta dan kenikmatan dunia. Bagi mereka, kebahagiaan diukur dari seberapa banyak materi yang dimiliki dan kemewahan yang dapat dinikmati. Golongan ini seringkali terjerumus dalam kesibukan duniawi yang melenakan, sehingga lalai akan kewajiban spiritual dan persiapan untuk kehidupan abadi. Mereka menganggap dunia adalah segalanya dan tidak menyadari bahwa ada kehidupan lain setelah kematian yang jauh lebih kekal. Akibatnya, mereka akan mengalami kerugian besar dan dibinasakan karena salah memilih prioritas hidup. Fokus yang sempit pada dunia seringkali membuat mereka melakukan cara-cara yang tidak halal demi mencapai keinginan sesaat, mengabaikan nilai-nilai moral dan agama.

2. Golongan yang Mengutamakan Akhirat

Berbeda dengan golongan pertama, golongan kedua menjadikan akhirat sebagai tujuan utama dan tempat kembali mereka. Kehidupan dunia dilihat sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan di akhirat. Oleh karena itu, mereka menyibukkan diri dalam mencari nafkah, namun dengan cara yang halal dan sesuai dengan ajaran agama. Pekerjaan yang mereka lakukan selalu diniatkan sebagai ibadah dan bentuk pertanggungjawaban kepada Allah SWT. Mereka sadar bahwa setiap rezeki yang diperoleh akan dihisab, sehingga mereka berhati-hati dalam setiap transaksi dan usaha. Golongan ini adalah orang-orang yang beruntung karena telah menyeimbangkan antara kebutuhan dunia dan kewajiban akhirat. Mereka tidak menolak kenikmatan dunia, namun tidak menjadikannya sebagai tujuan akhir. Kebahagiaan sejati bagi mereka adalah ketika dapat menjalankan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan mempersiapkan bekal yang cukup untuk kehidupan abadi. Usaha mereka dalam mencari nafkah halal menjadi bukti keimanan dan ketakwaan mereka.

3. Golongan Jalan Tengah

Golongan ketiga adalah mereka yang mengambil jalan tengah antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka memiliki keyakinan yang kuat bahwa tujuan akhir kembali adalah ke akhirat, namun mereka juga tetap berusaha mencari penghidupan di dunia dengan cara yang lurus dan benar, seperti berniaga dan berdagang. Mereka meyakini bahwa kesuksesan dan kebahagiaan tidak akan tercapai jika seseorang tidak menempuh jalan yang diridhai dalam mencari rezeki. Bagi mereka, dunia ini adalah sarana untuk memperoleh kehidupan akhirat yang lebih baik. Oleh karena itu, mereka akan senantiasa mengikuti ketentuan syariat dalam setiap pencarian nafkah mereka. Mereka tidak terburu-buru dalam mengejar kekayaan dan tidak lalai dari ibadah serta kewajiban agama. Dengan menjaga keseimbangan ini, mereka berkeyakinan akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Jalan tengah ini menunjukkan kebijaksanaan dalam menjalani hidup, yaitu memanfaatkan dunia sebagai bekal tanpa melupakan tujuan utama penciptaan diri.

Ancaman Membuka Pintu Meminta-minta

Dalam Islam, menjauhi sikap meminta-minta adalah sebuah kemuliaan yang diajarkan. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi: “Barang siapa membuka diri untuk meminta-minta, maka Allah akan membukakan baginya 70 pintu kefakiran.” Ancaman ini menunjukkan betapa besar kerugian yang akan ditanggung oleh seseorang yang terbiasa meminta-minta. Selain mendatangkan kesulitan finansial, sikap ini juga dapat mengikis harga diri dan kemandirian seseorang. Lukman Al-Hakim dalam nasihatnya kepada sang putra mengingatkan bahaya kemiskinan yang berujung pada hilangnya harga diri, melemahnya akal, dan tipisnya agama. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk berusaha mencari nafkah yang halal dan menjaga kehormatan diri agar tidak terperosok dalam jurang kefakiran yang berimplikasi negatif pada aspek kehidupan lainnya.

Bagikan Artikel

Artikel Terkait