Menjadi ketua PWNU Jatim, memudahkan Kiai Marzuki berinteraksi dengan masyarakat dari berbagai kalangan. Masyarakat pun terpikat dengan model dakwah ataupun ceramah yang beliau sampaikan.
“Beliau itu orangnya istiqomah, bahkan rela memberikan upah kepada adik-adik kelas dari hasil jualan jajannya di pondok”. Ujar kiai Muzakki, teman mondok Kiai Marzuki dulu.
Baca juga : Kaleidoskop 2021: Maju-Mundur Jadwal Muktamar Ke-34 NU
Jarang sekali kita mendapati sosok sebagaimana kiai Marzuki. Orang saat berjualan pasti yang diinginkan adalah keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal itu berbeda dengan kiai Marzuki saat mondok di pesantren Nurul Huda Mergosono. Beliau berjualan bukan untuk memperkaya diri, akan tetapi membantu teman-temannya yang tidak mampu.
Karakteristik kedermawanan beliau memanglah sudah terbentuk sejak dari dulu, sehingga berdampak pada kehidupan beliau hingga sekarang. Contohnya saja setiap Jumat pagi beliau selalu mengadakan ngaji wethonan dengan santri dan masyarakat sekitar. Kajian wethonan tersebut pun ditutup dengan acara makan bersama.
“Eh… itu, talamnya segera kamu ambil! Keburu diambil bocah-bocah santri SMP”. Ucap salah satu santri mahasiswa.
Memang, hari Jumat adalah hari yang sangat dinantikan oleh para santri Ponpes Sabilurrosyad asuhan Kiai Marzuki. Bagaimana tidak, pada acara tersebut pasti ada sesi makan-makannya.
“Dijamin enak mondok di sini, kamu seminggu nggak pegang uang dijamin masih tetap bisa hidup”. Celetuk santri mahasiswa kamar 4C ponpes tersebut kepada santri lain.
Ponpes yang diasuh kiai Marzuki kerap kali mengadakan acara-acara yang ujung-ujungnya adalah makan bersama serta melibatkan seluruh santri. Maka tidak heran, para santri betah tinggal di pondok karena uang jajannya jarang sekali digunakan untuk membeli makan.
Kiai Marzuki Terkenal dengan Metode Ceramahnya yang Persuasif
Di sisi lain, kiai Marzuki terkenal dengan metode ceramahnya yang persuasif, sehingga mampu meyakinkan masyarakat mengenai kebenaran akidah Aswaja An-nahdliyah. Hal itu sering beliau sampaikan pada saat pengajian wethonan.
“Saat ini, banyak sekali kelompok-kelompok yang melenceng dari Aswaja, sedikit-sedikit bid’ah, sedikit-sedikit bid’ah, semua bid’ah. Kelompok mereka sendiri yang merasa benar, paling nyunnah. Masak marah-marah dan suka mencemooh orang lain itu nyunnah…”. tegas Kiai Marzuki.
Beliau juga sering mewanti-wanti santri dan masyarakat untuk berhati-hati terhadap aliran-aliran yang berkontradiksi dengan faham Aswaja An-nahdliyah. Selama faham atau aliran tersebut berseberagan dengan NU, beliau menginstruksikan untuk tidak mengikuti.
“Mereka itu sebenarnya sudah tahu akan kebenaran, akan tetapi menolak karena gengsi. Dulu pernah ada pemuda yang sowan ke ndalem, bertanya tentang dalil qunut subuh. Sebelum saya tunjukkan dalilnya saya minta kesepakatan, kalau memang iya ada dalilnya, Anda harus rela masuk NU…”,
Selepas itu, beliau mengambilkan kitab Shohih Bukhari yang ada di rak kitab beliau, serta sesegera mungkin menunjukkan kepada pemuda yang bertanya tentang dalil qunut subuh.
“Ini mas dalilnya, Shohih Bukhori halaman sekian…” tutur beliau kepada pemuda yang semangatnya tinggi mengumandangkan nyunnah.
Baca juga : Wilayah di Tanah Jawa yang Belum Bisa Dimasuki Ajaran Islam Pada Zaman Walisongo
Setelah adanya dalil qunut subuh, pemuda itupun mengangguk-ngangguk, serta minta izin pulang karena permintaannya sudah terpenuhi. Sebelum pulang, kiai Marzuki menagih janji sebelumnya.
“ Bagaimana mas,…..Bersedia masuk NU?”, tanya beliau
“Masih berat kiai”, jawab pemuda tersebut.
Beliau sangat tinggi akan toleransi bahkan semangat dalam menjaga keutuhan NKRI. Karena beliau paham, bahwa Islam berkembang di Indonesia juga karena keberagaman, bukan suatu keegoisan dan fanatik dalam suatu golongan.